Jeritan dan teriakan mereka semakin keras dan jelas terdengar di telinga. Sudah kututup pintu kamar ini rapat-rapat, telingaku panas dan berdenyut karena terlalu lama kututup dengan tanganku. Nafasku berat dan tak karuan, kini aku tak sanggup lagi menahan luapan emosi yang sedang kurasakan. Kubuka buku hitam yang ada di depanku. Dengan bergetar kutuliskan:
“Dear diary, keputusanku bulat, hari ini pasti kubunuh mereka”
Sekujur tubuhku bergetar, penuh dengan amarah yang sudah tak terbendung lagi. Dengan perlahan aku berjalan menuju meja rias yang terletak beberapa langkah dari pojok kamar dimana aku duduk. Teriakan mereka masih belum berhenti, bahkan kali ini aku mendengar suara pecahan kaca. Aku masih berharap mereka berhenti, berhenti menyiksa batinku seperti ini. Namun aku tak akan merubah keputusanku.
Kubuka laci yang ada didepanku dan mataku tertuju pada sepucuk pistol yang tergeletak disana. Kemarin aku masih berharap aku memiliki keberanian untuk menggunakannya pada diriku sendiri, namun hari ini aku akan menggunakannya untuk mereka. Seakan ada keberanian yang mengalir dari ujung jariku, tanganku dan sampai ke seluruh tubuhku saat kuambil pistol. Aku berbisik pada diriku sendiri: “Berakhir sampai disini.”
Kubuka pintu kamar yang kukunci rapat-rapat sejak tadi. Jantungku berdebar sangat keras, tapi aku tak mau berhenti. Aku tidak mau lagi bersembunyi, berpura-pura seakan semua baik-baik saja. Suara mereka makin jelas terdengar, makian seorang pria dan jeritan histeris disertai tangisan seorang wanita. Aku berjalan menghampiri mereka dengan tangan tersembunyi dibelakang, mencoba menutupi senjata yang kubawa bersamaku.
“DIAM!!!” Dengan sekuat tenaga aku menjerit. Aku tidak bisa berbohong, aku takut. Mereka berdua terdiam dan melihat kearahku, aku bisa melihat dari wajah mereka kalau mereka terkejut. Kurasa akhirnya aku berhasil mendapat perhatian mereka.
“SIALAN!!” aku menjerit sekali lagi.
“Sialan!!” kali ini aku tak kuasa menahan air mata, aku menangis. Aku tak cukup kuat untuk menahan perasaanku.
“EH, ANAK KURANG AJAR!! Jangan berani ikut campur ya!” Kata pria itu sambil berjalan kearahku. Dengan segera kuangkat tanganku dan kutembakkan sebutir peluru ke arah langit-langit sebagai peringatan. Lalu tanpa ragu kuarahkan kembali larasnya kearah pria itu, papaku.
Aku bisa melihat wajahnya berubah dari merah menjadi pucat karena rasa takut. Tidak ada yang berani bergerak. Aku ingat ketika aku masih kecil, setiap kali mereka bertengkar, aku selalu mengurung diri di kamar, menangis, dipenuhi rasa takut, selalu berharap mereka bisa berdamai dan aku bisa memiliki keluarga yang bahagia. Kini aku tidak bisa lagi berharap. Semuanya sudah terlambat, tidak bisa diperbaiki lagi.
“Maaf pa, udah cukup. Selama ini mama sama papa egois. EGOIS!” keringat mengucur membasahi wajahku. Aku bisa merasakan rasa asin di mulutku, keringat bercampur air mata.
“Mama sama papa gak pernah mikirin perasaan aku. Kenapa? KENAPA?!” Aku menjerit sekuat tenaga. Kepahitan dan kesedihan hatiku yang selama ini kutahan, akhirnya kini bisa kuungkapkan. Ada rasa sesal dalam hatiku, kenapa harus terjadi sampai begini.
“Kamu jangan gila ya!” papa kembali mencoba mendekat, walaupun jelas sekali terlihat dia sangat berhati-hati, rasa takut tetap ada dalam raut wajahnya. Kenapa aku tidak bisa menemukan sedikitpun penyesalan di wajahnya?
“Maaf pa... Aku sayang papa...”
Kutarik jariku yang terkait di pelatuk pistol. Sekejap saja namun terasa sangat lama, aku melihat tubuh papa terjatuh ke lantai. Kurasa tembakanku tepat menembus jantungnya. Warna merah tua membasahi marmer coklat di sekitar tubuhnya yang diam tak bergerak. Dia tidak lagi bergerak.
Aku melihat mama mencoba berlari menuju kearah pintu rumah. Dadaku sesak, aku sayang mama, lebih dari papa. Tapi aku tahu dia tidak pernah menginginkanku, dia selalu ingin lari bersama dengan pria simpanannya. Meninggalkan aku bersama dengan papa. Aku pernah tak sengaja mendengar percakapan mereka. Hatiku hancur berkeping-keping.
Aku selalu berpikir kalau suatu saat nanti papa dan mama cerai, aku masih bisa percaya kepada mama. Namun aku memutuskan untuk tidak akan lagi berharap, tidak akan lagi percaya. Kini kebencianku padanya melebihi kebencianku pada papa. Selamat tinggal mama.
Hanya satu tembakan dan tubuhnya terbaring tidak bergerak di lantai. Sudah selesai. Aku sudah tidak punya siapa-siapa. Ada perasaan aneh yang menggelitik perasaanku, bahagia, aku tahu aku tidak akan pernah disakiti oleh mereka lagi. Sedih, aku sudah tidak punya siapa-siapa, sendirian. Takut, karena aku tahu hidupkupun berakhir sampai disini.
Kuarahkan laras pistolku ke pelipisku. Panas rasanya. Aku membayangkan api neraka yang akan menyambutku beberapa saat lagi... Selamat tinggal dunia.
SELESAI
Author: Zoink, All right reserved.